PANDEMI covid-19
telah menciptakan kebutuhan dan perlunya menjaga jarak dalam interaksi sosial
(social distancing), karantina, dan isolasi sehingga setiap individu yang
rentan tidak akan terkena virus. Upaya tersebut dilakukan salah
satunya dengan tujuan agar sistem perawatan kesehatan tidak kewalahan akibat
meningkatnya jumlah pasien yang harus dilayani.
Masyarakat seyogianya memahami
manfaat dari mengupayakan kurva landai (flattening the curve), sebuah
pendekatan yang digunakan untuk menghambat dan/atau menghentikan lajunya penyebaran
covid-19. Model ini menghendaki agar setiap individu dapat melakukan
tanggung jawab/bagiannya guna memperlambat penyebaran virus. Keinginan untuk
mewujudkan flattening the curve menjadi salah satu alasan utama kebijakan
pemerintah untuk meminta siswa belajar dari rumah (BDR), sehingga kesempatan
mereka untuk dapat berkumpul dalam bentuk kerumunan dapat dicegah, dan karena
itu peluang penyebaran covid-19 bisa dihambat.
Keluhan masyarakat dalam keadaan
normal, pembelajaran model BDR (belajar di rumah) dan BDS (belajar di sekolah)
bisa relatif sama tujuan dan kualitasnya. Yang membedakan mungkin hanya
sarana pendukung yang digunakan. Pada keadaan darurat, ketika masyarakat
(termasuk siswa dan guru) masih dibayangi wabah mematikan covid-19, seharusnya
desain dan proses pembelajaran yang diterapkan berbeda sebab belajar tidak lagi
bisa dianggap sebagai business as usual. Walaupun demikian, kebijakan BDR yang
diputuskan dengan tujuan untuk menghambat penyebaran virus dalam praktiknya
tetap harus mengacu pada kurikulum nasional yang digunakan. Kesiapan guru dan
siswa dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran, khususnya pada jenjang
pendidikan menengah, relatif baik dan terus meningkat kualitasnya. Namun, muatan
pembelajaran daring masih perlu terus disempurnakan agar lebih interaktif
sehingga memungkinkan siswa dapat lebih terlibat (engaged) dalam proses
pembelajaran. Daya dukung teknologi juga perlu terus ditingkatkan
kualitasnya, sebagaimana fasilitas yang digunakan perusahaan-perusahaan
penyedia konten (content provider).

Dalam kondisi darurat
ini, kemasan muatan pembelajaran BDR, seharusnya akan sarat dengan penguatan
literasi dan karakter. Konten diajarkan, selain untuk mengembangkan
pengetahuan siswa (rote learning), juga digunakan sebagai medium dalam
menumbuhkan dan memperkuat kemampuan literasi dan karakter. Sebagai sebuah
aktivitas pembelajaran formal, penilaian tetap harus dilakukan. Namun,
penilaian BDR dilakukan bukan untuk menentukan standar pencapaian (attainment
level) atau kepentingan nilai (assigning grade) semata. Penilaian dalam BDR
dilakukan mestinya dengan tujuan untuk membantu siswa agar dapat menemukan cara
belajar yang lebih baik bagi dirinya pada setiap subjek yang
dipelajari/diajarkan. Penilaian semacam ini disebut dengan penilaian formatif,
yakni skor/nilai hasil sebuah aktivitas penilaian bukanlah standar pencapaian
ataupun tujuan proses pembelajaran. Karena jika kita menggunakannya sebagai
tujuan proses pembelajaran, nilai sesungguhnya yang merupakan ukuran dari
status pembelajaran akan hilang dan justru mendistorsi proses pembelajaran yang
diharapkan.